Minggu, 06 Mei 2012

puisi


sering kali aku berkata, ketika orang memuji milikku,
bahwa sesungguhnya ini adalah titipan,
bah mobilku hanya titipan-Nya,
bahwa rumahku hanya titipan-Nya,
bahwa hartaku hanya titipan-Nya,
bahwa putraku hanya titipan-Nya,
tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya, mengapa Dia menitipkan padaku?
Untuk apa Dia menitipkan ini padaku?
Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik-Nya ini?
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?
Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya? ketika diminta kembali kusebut itu musibah, kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka,
kusebut dengan panggilan apa saja untuk melukisakan bahwa itu adalah derita.
ketika aku berdo'a, kumintatitipan yang cocok dengan hawa nafsuku,
aku ingin lebih banyak harta,
ingin lebih banyak mobil,
lebih banyak rumah,
lebih banyak popularitas,
dan kutolak sakit, kemiskinan,
seolah semua" derita" adalah hukuman bagiku.
seolah keadilan dan kasih sayang-Nyaharus berjalan seperti matimatika:
aku rajin beribadah maka selayaknya derita menjauh dariku, dan
nikmat dunia kerap menghampiriku.
kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan kekasih.
kuminta Dia membalas "perlakuan baikku", dan menolak keputusan-Nya yang tak sesuai keinginanku,
Gusti, padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah....
        "ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sma saja"
("Makna Sebuah Titipan" Rendra)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar