Senin, 10 Desember 2012

SOSIOLOGI GENDER


TUGAS SOSIOLOGI GENDER
“Analisis Film Jual Beli Perempuan dan Anak”



Oleh:
Fitriani Nur Amanah
F1A011054




DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDRAL SOEDIRMAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
JURUSAN SOSIOLOGI
PURWOKERTO
2012

Judul: Jual Beli Perempuan dan Anak
Sinopsis:
Film yang berjudul Jual Beli Perempuan dan Anak merupakan film dokumenter yang dibuat oleh Yayasan Jurnal Perempuan. Film ini bercerita tentang kisah para mantan buruh migran perempuan yang dulunya bekerja sebagai pekerja rumah tangga, kisah tentang pekerja seks, kisah tentang perkawinan transnasional dan kisah penjualan bayi yang dialami oleh masyarakat di perbatasan Indonesia - Malaysia di daerah sungai Sambas Kalimantan Barat, Singkawang Kalimantan Barat dan di Batam yang berbatasan dengan Singapura.
Kisah tentang para mantan buruh migran atau tenaga kerja wanita (TKW) yang dulunya bekerja di Malaysia atau kisah para korban trafficking.  Para buruh migran itu antara lain adalah Ila seorang perempuan yang menjadi buruh migran pada tahun 2000, dia berjalan berjam-jam lamnya dengan agen yang akan membawanya ke perbatasan Malaysia. Bekerja selama empat bulan sebagai pekerja rumah tangga dan tidak mendapatkan gaji sama sekali. Padahal dia diberi janji agen yang membawanya akan mendapatkan gaji sebesar 140 – 150 ringit atau 107 dolar. Akhirnya dia melarikan diri karena tidak mendapatkan gaji tersebut.
Selain Ila, ada pula perempuan yang berumur 18 tahun yaitu Marlina. Marlina menerima tawaran dari seorang agen yang mana adalah tetangganya, dia memberi tawaran kepada Marlina untuk bekerja sebagai seorang penjual sayur di pasar Kuching, tetapi Marlina ditipu, dia disana dipekerjakan sebagai seorang pembantu. Marlina mendapatkan perlakuan buruk dari majikannya yang bernama Helen, dia dipukul sebanyak 3 kali dan yang terakhir Marlina dipukul sampai pingsan dan dibuang ke parit di Malaysia, hingga akhirya dia lumpuh sampai saat ini. Motivasi Marlina mau bekerja ke luar negeri karena ia ingin membantu keluarganya.
M. Rosali Riantani adalah bapak Marlina, beliau mengizinkan Marlina pergi bekerja karena dia percaya kepada agen yang membwanya karena si agen selain tetanggaya juga berjanji akan menjaga Marlina. Kenede dialah yang membawa Marlina ke Malaysia, pengakuannya tentang kasus yang menimpa Marlina itu juga bukan karena kesalahnnya penuh karena dia mendapatkan informasi dari temnnya ketika dia berada di Sirikin, nama temannya adalah Bujang. Bahwa ada orang China yang membutuhkan pekerja sebagai penjual sayur di pasar Kuching.
Banyaknya kasus trafficking buruh migrant yang ada di Kalimantan Barat membuat organisasi seperti LBH APIK Pontianak berusaha untuk membantu. Hairiyah direktur LBH APIK Pontianak mengatakan bahwa calo memiliki peranan besar dalam kasus ini, karena calo bisa masuk hingga pelosok-pelosok desa untuk mencari  korban-korban trafficking, jika calo tidak bisa amsuk ke desa-desa dia menggunakan jaringan-jaringannya seperti kepala desa, kepala adat untuk meyakinkan orang tua calon TKW agar percaya dan mengizinkan anaknya untuk menjadi TKW.
Di sudut lain di Entikong-Tebedu , banyak orang yang melewati perbatasan ini untuk mencari pekerjaan. Namun pemerintah tidak bisa mengatasi trafficking  karena banyaknya faktor seperti adanya uang pelican untuk membuat dokumen-dokumen agar dapat keluar masuk melalui perbatasan ini. Banyaknya pekerja yang tidak memiliki izin resmi akan di eksploitasi dan dianiaya oleh majikan mereka sehingga mereka melarikan diri. Dan banyak yang mencari perlindungan di Konsulat Indonesia.
Kisah mantan TKW selanjutnya adalah Siti, dia kabur dari majikannya lantaran sudah tidak sanggup karena disuruh makan daging babi, dan setiap makan pasti ditunggui oleh majikannya. Kisah lain datang dari Rika yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga, dia dipukuli majikannya hingga akhirnya dia melarikan diri. Selain itu ada Ana yang menjadi pekerja rumah tangga, menjaga kedai dan menjaga anak majikannya selama tiga bulan lebih tidak mendapatkan gajinya.
Ditengah maraknya trafficking dan kekerasan yang dialami oleh TKW yang ada di Malaysia ternyata ada beberapa orang yang peduli seperti Yudi seorang sukarelawan yang bekerja di sebuah pub di Kuching sebagai seorang gitaris, ia peduli dengan nasib para perempuan Indonesia yang berada di Malaysia.
Selain trafficking buruh migran, trafficking bentuk perkawinan transnasional pun terjadi yaitu perkawinan laki-laki Taiwan dengan perempuan Indonesia ini terjadi di Singkawang Kalimantan Barat. Salah satu korbannya adalah Lai Santi, dia dikawinkan dengan laki-laki Taiwan pada umur 16 tahun karena kasihan dengan orang tuanya. Namun akhirnya dia bercerai karena mengalami kekerasan dalam rumah tangga seperti dipukul, ditinju, didorong kedidinding karena suaminya tidak memiliki uang, dan sebab yang lainnya. Lai Santi akhirnya  meninggalkan suami dan anak-ankanya. Sekarang dia sedang melakukan proses perceraian yang ditangani oleh pengacaranya Solling. Solling merupakan pengacara yang sering menangani kasus seperti kasus perceraian Lai Santi. Orang luar yang ingin mendapatkan istri orang Indonesia mereka berani membayar mak comblang dengan harga 50-100 juta. Sementara uang yang digunakan untuk istilanya seperti melamar begitu dibatasi dan sangat minim.
Keinginan Lai Santi untuk mendapatkan kembali anak-anaknya ini dipertanyakan karena kemungkinan itu sangatlah tipis, disebabkan tidak adanya kerjasama hukum antara Taiwan dengan Indonesia. Sehingga hak-hak yang harusnya didapatkan oleh pihak perempuan tidaklah terpenuhi seperti hak warisan dan hak asuh anak, kasus seperti ini banyak yang terabaikan.
Dimensi lain dari trafficking adalah perdagangan bayi, kisah ini datang dari TKW yang bernama Rita. Ketika pasportnya hampir habis dia didekati oleh laki-laki Malaysia dan dinikahi. Dan akhirnya hamil, setelah tujuh bulan kehamilnnya ia sudah tidak diperhatikan lagi oleh yang menikahinya dan akhirnya dibantu oleh agennya untuk tingal dirumah ‘Auntoie Bong’ dengan beberapa perempuan yang kondisinya sama dengannya. Setelah anknya lahir tiba-tiba Rita dikejutkan bahwa anaknya akan dijual ke orang lain. Selain itu dia malah ditahan di Serawak karena tidak punya passport.
Kisah selanjutnya ada di pulau Batam, Batam merupakan pulau industry yang maju di sector pembangunannya dalam bidang industry, pariwisata dan perdagangan. Di pulau ini juga dapat terjadi berbagai macam kemungkinan. Ismeth Abdullah, ketua Otorita Batam mengatakan bahwa Batam memiliki kekhususan tersendiri dan mampu menampung lapangan kerja sebanyak 175 ribu sector formal. Bersamaan dengan kemajuannya Batam juga dikenal sebagai industry seks baik bagi orang Indonesia maupun Singapura.
Banyaknya tempat prostitusi di pulau yang disebut Mat Belanda disana banyak apek-apek yang berumur 50-70 thn dari Singapura. Dari penjelasan Gloury Paula seorang petugas outreach PKBI banyaknya pengunjung yang datang sering menjadikan wanita-wanita itu istri simpanannya selama sebulan harus melayani orang yang menjaminnya itu. Menurut penyuluh dilapangan kebanyakan kasus adalah penjualan perempuan dan anak-anak. Para klient lebih suka perempuan yang dibawah umur. Mereka di kontrol oleh mamy dan dipastikan mmbayar hutang-hutang mereka. Seperti beberapa kisah para pekerja seks seperti:
Kisah laras, pekerja seks, 14 tahun: dia di tipu oleh agen yang membawanya yang diberi janji akan mendapatkan gaji sebesar 70 USD . sampai akhirnya juga dia terkena penyakit di organ reproduksinya. Kisah lain dari Leni, pekerja seks, 16 tahun: hamil tanpa disadari, ketika lahir bayinya langsung dibuang. Kisah selnjutnya Weni, pekerja seks, 17 tahun: membayar hutanngya kepada “mamy” (julukan kepada wanita yang membeli orang untuk dijadikan sebagai pekerja seks), bekerja tanpa mendapatkan hasilnya karena untuk melunasi hutang mereka. Kisah Adissa, pekerja seks, 30 tahun; di jual dengan harga 3 juta. Terpaksa melakukan pekerjaan itu untuk membayar hutangnya.
Kejadian seperti itu mengakibatkan kerugaian pada kesehatan reproduksi, dan menyebabkan berbagai dampak yang saling terkait seperti yang dijeaskan oleh Direktur Yayasan Mitra Kesehatan dan Kemanusiaan, Lola Wagner yang ada dalam film.
Mereka tidak bisa bergantung pada aparat karena sering ketika mereka ingin melarikan diri aparat sering mengembalikannya kepada “mamy”. Hal demikian yang terjadi dibatam harus perlu ditangani oleh pemerintah kota, yang dikatakan oleh wali kota Batam Drs. Nyat Kadir perlu menjadi perhatian bahwa pemberantasan hal ini harus didukung oleh semua pihak.
Untuk dapat kembali ke tanah air dengan selamat tidak banyak, seperti Rita yang dibebaskan oleh LBH APIK Pontianak, dengan dibantu oleh Tuti Suprihatin SH. Rita kembali ke Indonesia, tetapi dia merasa tidak tenang karena tidak mendapat sambutan yang baik dari pamannya, karena dirasa memberi beban kepada pamannya atas kehadiran bayinya. Sehingga Rita juga masih dalam keadaan tertekanan.
Analisis:
Ketidakadilan gender yang terjadi adalah bentuk dari violence atau kekerasan berupa trafficking yaitu penjualan manusia, pengertian dari penjualan manusia menurut perserikatan bangsa-bangsa adalah, perekrutan, pemindahan, pengiriman seseorang, dengan ancaman, atau penggunaan kekerasan, penipuan atau bentuk-bentuk pemaksaan, penyalahgunaan kekuasaan, menerima bayaran untuk tujuan eksploitasi.
Manifestasi dari ketidakadilan gender violence berupa trafficking ini meliputi berbagai macam yaitu perempuan dijual sebagai pekerja rumah tangga, di jual untuk dinikahkan dengan orang asing berupa perkawinan transnasional, dan perdagangan bayi atau anak, serta dijual dan dijadikan pekerja seks. Mereka menjadi korban karena ditipu oleh agen-agen yang membawa mereka untuk bekerja dengan diberi janji-janji palsu. Kejahatan traffiking ini belum bisa ditangani oleh pemerintah dengan baik karena banyaknya oknum-oknum yang memberi uang  kepada aparat-aparat tertentu untuk memudahkan kegiatan mereka.
Kegiatan trafficking yang berupa penjualan perempuan untuk dijadikan pekerja seks sangat merugikan perempuan baik dari segi mental, maupun kesehatannya. Seperti yang dijelaskan oleh direktur yayasan mitra kesehatan dan kemanusiaan kesehatan reproduksi para pekerja seks kurang sekali diperhatikan sehingga menimbulkan berbagai dampak. Dampak tersebut saling terkait antara lain kerusakan organ reproduksi, kegagalan kontrasepsi, saluran reproduksi rusak, aborsi hingga HIV.
Dititik inilah perempuan sangat merasakan adanya ketidakadilan gender yang mereka alami, banyaknya kasus demikian kurang diperhatikan pemerintah. Mereka tidak mendapatkan hak-hak sebagai manusia yang layak. Dalam kasus perkawinan transnasional misalnya ketika perempuan Indonesia ingin melakukan perceraian mereka tidak bisa mendapatkan hak-hak mereka, baik hak warisan, hak asuh anak, dan hak lainnya karena tidak adanya kerjasama hukum atau tidak ada hubungan diplomat antara Taiwan dengan Indonesia. Sehingga cukup sulit untuk mengurus kasus perceraian transnegara agar pihak perempuan mendapatkan hak-haknya.
Dengan banyaknya kasus yang ada seharusnya peraturan atau undang-undang sudah dapat dibuat untuk melindungi warga negaranya, namun kenapa sampai saat ini masih banyak hal yang serupa terjadi dan menimpa perempuan Indonesia khusunya yang mendapat perlakuan tidak adil baik di negara sendiri ataupun di negara orang lain.
Selain ketidakadilan gender yang dialami berupa violence ada sisi lain lagi dari ketidakadilan gender yang dialami oleh para mantan buruh migrant ketika ia kembali ke tanah air, misalnya di film adalah Rita seorang mantan TKW yang juga ibu korban perdagangan anak. Ketika ia kembali ke Indonesia ia harus memikul beban berat karena selain dia kembali tanpa mendapatkan apa yang seharusnya didapat ia kembali dengan membawa anaknya. Perempuan seperti ini harus berusaha menanggung beban untuk dapat memenuhi kebutuhan anaknya sendiri sehingga ia mengalami ketidakadilan gender berupa beban berat atau hard burden. Selain memenui kebutuhan ekonominya, perempuan pun harus melakukan pekerjaan domestic sementara laki-laki tidak dapat bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.
Mereka yang menjadi pelaku perdagangan orang bisa berupa individu atau perorangan, kelompok orang yang mengeluti pekerjaan ini, aparat penyelengara negara dan korporasi. Dalam film para pelaku ketidakadilan gender dalam trafficking adalah para agen-agen yang mengajak perempuan-perempuan Indonesia untuk bekerja diluar negeri, calo-calo yang berkeliaran di desa-desa hingga pelosok dalam, para jaringan agen-agen yang memiliki kekuasaan seperti kepala desa, kepala adat, yang berperan untuk mengambil hati para oragtua agar member izin kepada anak-anaknya untuk bekerja keluar negeri. Selain itu adapula pemerintah atau aparat-aparat yang ikut andil dalam terjadinya ketidakadilan gender ini. Majikan-majikan yang melakukan tindak kekerasan atau aniaya kepada para pembantu rumah tangga. Serta para lelaki hidung belang yang mengeksploitasi para perempuan.
Kejahatan trafficking ini begitu marak karena bisnis perdagangan orang ini merupakan bisnis illegal yang menurut mereka sangat menguntugkan. Sehingga semakin banyak agen-agen yang mencari orang untuk diperdagangkan, kenapa calon-calon orang yang diperdagangkan kebanyakan dari daerah-daerah yang terpelosok seperti di Kalimantan Barat? Karena disana mereka akan mudah mencari dan mengajak calon korbannya disebabkan faktor krisis kemiskinan yang ada sehingga mereka mudah tergiur dengan janji para agen-agen tersebut.
Posisi buruh perempuan dalam struktur developmentalism menempati posisi penting sebagai penghasil nilai sehingga secara tidak langsung buruh mempengaruhi sektor yang lain seperti peerintahan dan lainnya. Tetapi tidak disadari bahwa nasib buruh begitu memprihatinkan, kebanyakan hak-hak mereka tidak diperhatikan, seringnya mendapatkan perlakuan buruk, seperti gaji yang minimum hingga ada yang tidak mendapatkan gaji mereka.
Fenomena tentang pekerja perempuan begitu terlihat jelas, dari data yang ada Bank Dunia menyebutkan bahwa 4 dari 10 pekerja global saat ini adalah perempuan, namun secara rata-rata setiap satu dolar yang dihasilkan laki-laki, perempuan hanya menghasilkan 80 sen, sungguh kenyataan yang pahit. Sementara fakta lain terlihat pada tenaga kerja wanita atau TKW. Sekitar 4,2 juta perempuan Indonesia atau sekitar 70 persen dari total 6 juta tenaga kerja Indonesia (TKI) bekerja sebagai TKW.
Keadaan yang seperti ini menjadikan perempuan memiliki beban ganda atau double burden karena mereka harus menanggung beban sebagai ibu rumah tangga dan menggung beban ekonomi keluarga. Perbedaan yang demikianlah yang mengakibatkan kemunculan ketidakadilan gender.
Faktor-faktor yang menyebabkan banyaknya warga Indonesia tertarik untuk bekerja diluar negeri adalah kemiskinan yang melanda, selain itu pendidikan yang mereka miliki rendah sehingga mereka memutuskan untuk bekera saja, ketrampilan yang minim menyebabkan mereka hanya bekerja sebagai pekerja rumah tangga, akses untuk mendapatkan pekerjaan yang layak tidak mereka miliki, dan mereka memiliki pandangan bahwa lapangan pekerjaan di luar negeri jauh lebih besar. Faktor-faktor ini yang membuat mereka tergiur untuk bekerja diluar negeri.
Penipuan yang kerap dilakukan oleh agen-agen adalah menjanjikan hal-hal yang manis kepada para calon korban yang rata-rata memang perempuan, kembali lagi kepada anggapan masyarkat bahwa perempuan hatinya lembut sehingga mereka berasusmsi perempuan mudah untuk diiming-iming dengan hal-hal demikian. Dari sinilah seharusnya kita dapat merubah maindset kita bahwa perempuan tidak lagi seperti yang telah dikonstruksikan masyarakat sehingga setidaknya dapat mengantisipasi hal serupa terjadi.
Perdagangan orang menyebabkan banyak kerugian yang dialami korban salah satunya korban yang kebanyakan adalah perempuan dan ada yang dibawah umur mereka kehilangan masa kanak-kanaknya, tidak bisa menikmati hidup layak seperti anak-anak yang lain. Ibu rumah tangga yang harusnya dirumah malah harus menderita di negeri orang disiksa dan di perlakukan tidak layak.
Kejahatan trafficking ini memang bukan kejahatan biasa sehingga pemerintah perlu memberikan perhatian khusus terhadap permasalahan ini, seperti pemerintah di daerah Tebingtinggi mereka mengeluarkan kebijakan pencegahan dan penanganan pidana perdagangan orang dan (kekerasa dalam rumah tangga) KDRT. Upaya ini dilakukan untuk mencegah adanya tindak pidana perdagangan orang dan penanganan korban perdagangan orang khususnya perempuan dan anak.
Pencegahan (tindak pidana perdagangan orang) TPPO dapat dilakukan antara lain melalui peningkatan pendidikan, penyebarluasan informasi, peningkatan pengawasan, peningkatan ekonomi, penindakan hukum dan kerja sama internasional.
Apa yang diterapakan pemerintah daerah Tebingtinggi harusnya dapat dijadikan contoh oleh pemerintah Kalimantan Barat dan Batam. Mereka dapat menerapkan hal yang sama untuk menekan jumlah perdagangan orang yang marak terjadi di daerahnya, sehingga eksploitasi perempuan dapat dihentikan. Tetapi kenapa hingga saat ini masih terjadi hal demikian? Apakah yang menyebabkan kejadian serupa masih terjadi? Ataukah memang tidak ada yang memperdulikan hak-hak perempuan Indonesia untuk mendapatkan tempat yang layak? Semua jawabnnya dapat kita dapatkan dari masing-masing individu, yaitu untuk dapat menanamkan rasa peduli.
Daftar Pustaka:
Fakih, Mansour. 2012. Analisi Gender Dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Lubis, Efendi. 2012. Kejahatan Traffiking Libatkan Banyak Pihak. http://www.hariananalisa.htm. Diakses pada 8 Desember 2012.
Muntamah. 2012. Ironi Wanita Pekerja. http://www.suaramerdeka.com. Diakses pada 8 Desember 2012.
                                                         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar