TUGAS
SOSIOLOGI GENDER
“Analisis
Film Jual Beli Perempuan dan Anak”

Oleh:
Fitriani
Nur Amanah
F1A011054
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDRAL SOEDIRMAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
JURUSAN SOSIOLOGI
PURWOKERTO
2012
Judul:
Jual Beli Perempuan dan Anak
Sinopsis:
Film
yang berjudul Jual Beli Perempuan dan Anak merupakan film dokumenter yang
dibuat oleh Yayasan Jurnal Perempuan. Film ini bercerita tentang kisah para
mantan buruh migran perempuan yang dulunya bekerja sebagai pekerja rumah tangga,
kisah tentang pekerja seks, kisah tentang perkawinan transnasional dan kisah
penjualan bayi yang dialami oleh masyarakat di perbatasan Indonesia - Malaysia
di daerah sungai Sambas Kalimantan Barat, Singkawang Kalimantan Barat dan di
Batam yang berbatasan dengan Singapura.
Kisah
tentang para mantan buruh migran atau tenaga kerja wanita (TKW) yang dulunya
bekerja di Malaysia atau kisah para korban trafficking. Para buruh migran itu antara lain adalah Ila
seorang perempuan yang menjadi buruh migran pada tahun 2000, dia berjalan
berjam-jam lamnya dengan agen yang akan membawanya ke perbatasan Malaysia.
Bekerja selama empat bulan sebagai pekerja rumah tangga dan tidak mendapatkan
gaji sama sekali. Padahal dia diberi janji agen yang membawanya akan
mendapatkan gaji sebesar 140 – 150 ringit atau 107 dolar. Akhirnya dia
melarikan diri karena tidak mendapatkan gaji tersebut.
Selain
Ila, ada pula perempuan yang berumur 18 tahun yaitu Marlina. Marlina menerima
tawaran dari seorang agen yang mana adalah tetangganya, dia memberi tawaran
kepada Marlina untuk bekerja sebagai seorang penjual sayur di pasar Kuching,
tetapi Marlina ditipu, dia disana dipekerjakan sebagai seorang pembantu.
Marlina mendapatkan perlakuan buruk dari majikannya yang bernama Helen, dia
dipukul sebanyak 3 kali dan yang terakhir Marlina dipukul sampai pingsan dan
dibuang ke parit di Malaysia, hingga akhirya dia lumpuh sampai saat ini.
Motivasi Marlina mau bekerja ke luar negeri karena ia ingin membantu
keluarganya.
M.
Rosali Riantani adalah bapak Marlina, beliau mengizinkan Marlina pergi bekerja
karena dia percaya kepada agen yang membwanya karena si agen selain tetanggaya
juga berjanji akan menjaga Marlina. Kenede dialah yang membawa Marlina ke
Malaysia, pengakuannya tentang kasus yang menimpa Marlina itu juga bukan karena
kesalahnnya penuh karena dia mendapatkan informasi dari temnnya ketika dia
berada di Sirikin, nama temannya adalah Bujang. Bahwa ada orang China yang
membutuhkan pekerja sebagai penjual sayur di pasar Kuching.
Banyaknya
kasus trafficking buruh migrant yang ada di Kalimantan Barat membuat organisasi
seperti LBH APIK Pontianak berusaha untuk membantu. Hairiyah direktur LBH APIK
Pontianak mengatakan bahwa calo memiliki peranan besar dalam kasus ini, karena
calo bisa masuk hingga pelosok-pelosok desa untuk mencari korban-korban trafficking, jika calo tidak
bisa amsuk ke desa-desa dia menggunakan jaringan-jaringannya seperti kepala
desa, kepala adat untuk meyakinkan orang tua calon TKW agar percaya dan
mengizinkan anaknya untuk menjadi TKW.
Di
sudut lain di Entikong-Tebedu , banyak orang yang melewati perbatasan ini untuk
mencari pekerjaan. Namun pemerintah tidak bisa mengatasi trafficking karena banyaknya faktor seperti adanya uang
pelican untuk membuat dokumen-dokumen agar dapat keluar masuk melalui
perbatasan ini. Banyaknya pekerja yang tidak memiliki izin resmi akan di
eksploitasi dan dianiaya oleh majikan mereka sehingga mereka melarikan diri.
Dan banyak yang mencari perlindungan di Konsulat Indonesia.
Kisah
mantan TKW selanjutnya adalah Siti, dia kabur dari majikannya lantaran sudah
tidak sanggup karena disuruh makan daging babi, dan setiap makan pasti
ditunggui oleh majikannya. Kisah lain datang dari Rika yang bekerja sebagai
pekerja rumah tangga, dia dipukuli majikannya hingga akhirnya dia melarikan
diri. Selain itu ada Ana yang menjadi pekerja rumah tangga, menjaga kedai dan
menjaga anak majikannya selama tiga bulan lebih tidak mendapatkan gajinya.
Ditengah
maraknya trafficking dan kekerasan yang dialami oleh TKW yang ada di Malaysia
ternyata ada beberapa orang yang peduli seperti Yudi seorang sukarelawan yang
bekerja di sebuah pub di Kuching sebagai seorang gitaris, ia peduli dengan
nasib para perempuan Indonesia yang berada di Malaysia.
Selain
trafficking buruh migran, trafficking bentuk perkawinan transnasional pun
terjadi yaitu perkawinan laki-laki Taiwan dengan perempuan Indonesia ini
terjadi di Singkawang Kalimantan Barat. Salah satu korbannya adalah Lai Santi,
dia dikawinkan dengan laki-laki Taiwan pada umur 16 tahun karena kasihan dengan
orang tuanya. Namun akhirnya dia bercerai karena mengalami kekerasan dalam
rumah tangga seperti dipukul, ditinju, didorong kedidinding karena suaminya
tidak memiliki uang, dan sebab yang lainnya. Lai Santi akhirnya meninggalkan suami dan anak-ankanya. Sekarang
dia sedang melakukan proses perceraian yang ditangani oleh pengacaranya
Solling. Solling merupakan pengacara yang sering menangani kasus seperti kasus
perceraian Lai Santi. Orang luar yang ingin mendapatkan istri orang Indonesia
mereka berani membayar mak comblang dengan harga 50-100 juta. Sementara uang
yang digunakan untuk istilanya seperti melamar begitu dibatasi dan sangat
minim.
Keinginan
Lai Santi untuk mendapatkan kembali anak-anaknya ini dipertanyakan karena
kemungkinan itu sangatlah tipis, disebabkan tidak adanya kerjasama hukum antara
Taiwan dengan Indonesia. Sehingga hak-hak yang harusnya didapatkan oleh pihak
perempuan tidaklah terpenuhi seperti hak warisan dan hak asuh anak, kasus
seperti ini banyak yang terabaikan.
Dimensi
lain dari trafficking adalah perdagangan bayi, kisah ini datang dari TKW yang
bernama Rita. Ketika pasportnya hampir habis dia didekati oleh laki-laki
Malaysia dan dinikahi. Dan akhirnya hamil, setelah tujuh bulan kehamilnnya ia
sudah tidak diperhatikan lagi oleh yang menikahinya dan akhirnya dibantu oleh
agennya untuk tingal dirumah ‘Auntoie Bong’ dengan beberapa perempuan yang
kondisinya sama dengannya. Setelah anknya lahir tiba-tiba Rita dikejutkan bahwa
anaknya akan dijual ke orang lain. Selain itu dia malah ditahan di Serawak
karena tidak punya passport.
Kisah
selanjutnya ada di pulau Batam, Batam merupakan pulau industry yang maju di
sector pembangunannya dalam bidang industry, pariwisata dan perdagangan. Di
pulau ini juga dapat terjadi berbagai macam kemungkinan. Ismeth Abdullah, ketua
Otorita Batam mengatakan bahwa Batam memiliki kekhususan tersendiri dan mampu
menampung lapangan kerja sebanyak 175 ribu sector formal. Bersamaan dengan
kemajuannya Batam juga dikenal sebagai industry seks baik bagi orang Indonesia
maupun Singapura.
Banyaknya
tempat prostitusi di pulau yang disebut Mat Belanda disana banyak apek-apek
yang berumur 50-70 thn dari Singapura. Dari penjelasan Gloury Paula seorang
petugas outreach PKBI banyaknya pengunjung yang datang sering menjadikan
wanita-wanita itu istri simpanannya selama sebulan harus melayani orang yang
menjaminnya itu. Menurut penyuluh dilapangan kebanyakan kasus adalah penjualan
perempuan dan anak-anak. Para klient lebih suka perempuan yang dibawah umur.
Mereka di kontrol oleh mamy dan dipastikan mmbayar hutang-hutang mereka.
Seperti beberapa kisah para pekerja seks seperti:
Kisah
laras, pekerja seks, 14 tahun: dia di tipu oleh agen yang membawanya yang
diberi janji akan mendapatkan gaji sebesar 70 USD . sampai akhirnya juga dia
terkena penyakit di organ reproduksinya. Kisah lain dari Leni, pekerja seks, 16
tahun: hamil tanpa disadari, ketika lahir bayinya langsung dibuang. Kisah
selnjutnya Weni, pekerja seks, 17 tahun: membayar hutanngya kepada “mamy”
(julukan kepada wanita yang membeli orang untuk dijadikan sebagai pekerja seks),
bekerja tanpa mendapatkan hasilnya karena untuk melunasi hutang mereka. Kisah
Adissa, pekerja seks, 30 tahun; di jual dengan harga 3 juta. Terpaksa melakukan
pekerjaan itu untuk membayar hutangnya.
Kejadian
seperti itu mengakibatkan kerugaian pada kesehatan reproduksi, dan menyebabkan
berbagai dampak yang saling terkait seperti yang dijeaskan oleh Direktur
Yayasan Mitra Kesehatan dan Kemanusiaan, Lola Wagner yang ada dalam film.
Mereka
tidak bisa bergantung pada aparat karena sering ketika mereka ingin melarikan
diri aparat sering mengembalikannya kepada “mamy”. Hal demikian yang terjadi
dibatam harus perlu ditangani oleh pemerintah kota, yang dikatakan oleh wali
kota Batam Drs. Nyat Kadir perlu menjadi perhatian bahwa pemberantasan hal ini
harus didukung oleh semua pihak.
Untuk
dapat kembali ke tanah air dengan selamat tidak banyak, seperti Rita yang
dibebaskan oleh LBH APIK Pontianak, dengan dibantu oleh Tuti Suprihatin SH.
Rita kembali ke Indonesia, tetapi dia merasa tidak tenang karena tidak mendapat
sambutan yang baik dari pamannya, karena dirasa memberi beban kepada pamannya
atas kehadiran bayinya. Sehingga Rita juga masih dalam keadaan tertekanan.
Analisis:
Ketidakadilan
gender yang terjadi adalah bentuk dari violence atau kekerasan berupa
trafficking yaitu penjualan manusia, pengertian dari penjualan manusia menurut
perserikatan bangsa-bangsa adalah, perekrutan, pemindahan, pengiriman seseorang,
dengan ancaman, atau penggunaan kekerasan, penipuan atau bentuk-bentuk pemaksaan,
penyalahgunaan kekuasaan, menerima bayaran untuk tujuan eksploitasi.
Manifestasi
dari ketidakadilan gender violence berupa trafficking ini meliputi berbagai
macam yaitu perempuan dijual sebagai pekerja rumah tangga, di jual untuk
dinikahkan dengan orang asing berupa perkawinan transnasional, dan perdagangan
bayi atau anak, serta dijual dan dijadikan pekerja seks. Mereka menjadi korban
karena ditipu oleh agen-agen yang membawa mereka untuk bekerja dengan diberi
janji-janji palsu. Kejahatan traffiking ini belum bisa ditangani oleh
pemerintah dengan baik karena banyaknya oknum-oknum yang memberi uang kepada aparat-aparat tertentu untuk memudahkan
kegiatan mereka.
Kegiatan
trafficking yang berupa penjualan perempuan untuk dijadikan pekerja seks sangat
merugikan perempuan baik dari segi mental, maupun kesehatannya. Seperti yang
dijelaskan oleh direktur yayasan mitra kesehatan dan kemanusiaan kesehatan
reproduksi para pekerja seks kurang sekali diperhatikan sehingga menimbulkan
berbagai dampak. Dampak tersebut saling terkait antara lain kerusakan organ
reproduksi, kegagalan kontrasepsi, saluran reproduksi rusak, aborsi hingga HIV.
Dititik
inilah perempuan sangat merasakan adanya ketidakadilan gender yang mereka
alami, banyaknya kasus demikian kurang diperhatikan pemerintah. Mereka tidak
mendapatkan hak-hak sebagai manusia yang layak. Dalam kasus perkawinan
transnasional misalnya ketika perempuan Indonesia ingin melakukan perceraian
mereka tidak bisa mendapatkan hak-hak mereka, baik hak warisan, hak asuh anak,
dan hak lainnya karena tidak adanya kerjasama hukum atau tidak ada hubungan
diplomat antara Taiwan dengan Indonesia. Sehingga cukup sulit untuk mengurus
kasus perceraian transnegara agar pihak perempuan mendapatkan hak-haknya.
Dengan
banyaknya kasus yang ada seharusnya peraturan atau undang-undang sudah dapat
dibuat untuk melindungi warga negaranya, namun kenapa sampai saat ini masih
banyak hal yang serupa terjadi dan menimpa perempuan Indonesia khusunya yang
mendapat perlakuan tidak adil baik di negara sendiri ataupun di negara orang
lain.
Selain
ketidakadilan gender yang dialami berupa violence ada sisi lain lagi dari
ketidakadilan gender yang dialami oleh para mantan buruh migrant ketika ia
kembali ke tanah air, misalnya di film adalah Rita seorang mantan TKW yang juga
ibu korban perdagangan anak. Ketika ia kembali ke Indonesia ia harus memikul
beban berat karena selain dia kembali tanpa mendapatkan apa yang seharusnya
didapat ia kembali dengan membawa anaknya. Perempuan seperti ini harus berusaha
menanggung beban untuk dapat memenuhi kebutuhan anaknya sendiri sehingga ia
mengalami ketidakadilan gender berupa beban berat atau hard burden. Selain
memenui kebutuhan ekonominya, perempuan pun harus melakukan pekerjaan domestic
sementara laki-laki tidak dapat bertanggung jawab atas apa yang telah
diperbuatnya.
Mereka
yang menjadi pelaku perdagangan orang bisa berupa individu atau perorangan,
kelompok orang yang mengeluti pekerjaan ini, aparat penyelengara negara dan
korporasi. Dalam film para pelaku ketidakadilan gender dalam trafficking adalah
para agen-agen yang mengajak perempuan-perempuan Indonesia untuk bekerja diluar
negeri, calo-calo yang berkeliaran di desa-desa hingga pelosok dalam, para
jaringan agen-agen yang memiliki kekuasaan seperti kepala desa, kepala adat,
yang berperan untuk mengambil hati para oragtua agar member izin kepada
anak-anaknya untuk bekerja keluar negeri. Selain itu adapula pemerintah atau
aparat-aparat yang ikut andil dalam terjadinya ketidakadilan gender ini. Majikan-majikan
yang melakukan tindak kekerasan atau aniaya kepada para pembantu rumah tangga.
Serta para lelaki hidung belang yang mengeksploitasi para perempuan.
Kejahatan
trafficking ini begitu marak karena bisnis perdagangan orang ini merupakan
bisnis illegal yang menurut mereka sangat menguntugkan. Sehingga semakin banyak
agen-agen yang mencari orang untuk diperdagangkan, kenapa calon-calon orang
yang diperdagangkan kebanyakan dari daerah-daerah yang terpelosok seperti di
Kalimantan Barat? Karena disana mereka akan mudah mencari dan mengajak calon
korbannya disebabkan faktor krisis kemiskinan yang ada sehingga mereka mudah
tergiur dengan janji para agen-agen tersebut.
Posisi
buruh perempuan dalam struktur developmentalism menempati posisi penting
sebagai penghasil nilai sehingga secara tidak langsung buruh mempengaruhi
sektor yang lain seperti peerintahan dan lainnya. Tetapi tidak disadari bahwa
nasib buruh begitu memprihatinkan, kebanyakan hak-hak mereka tidak
diperhatikan, seringnya mendapatkan perlakuan buruk, seperti gaji yang minimum
hingga ada yang tidak mendapatkan gaji mereka.
Fenomena
tentang pekerja perempuan begitu terlihat jelas, dari data yang ada Bank Dunia
menyebutkan bahwa 4 dari 10 pekerja global saat ini adalah perempuan, namun
secara rata-rata setiap satu dolar yang dihasilkan laki-laki, perempuan hanya
menghasilkan 80 sen, sungguh kenyataan yang pahit. Sementara fakta lain
terlihat pada tenaga kerja wanita atau TKW. Sekitar 4,2 juta perempuan
Indonesia atau sekitar 70 persen dari total 6 juta tenaga kerja Indonesia (TKI)
bekerja sebagai TKW.
Keadaan
yang seperti ini menjadikan perempuan memiliki beban ganda atau double
burden karena mereka harus menanggung beban sebagai ibu rumah tangga dan
menggung beban ekonomi keluarga. Perbedaan yang demikianlah yang mengakibatkan
kemunculan ketidakadilan gender.
Faktor-faktor
yang menyebabkan banyaknya warga Indonesia tertarik untuk bekerja diluar negeri
adalah kemiskinan yang melanda, selain itu pendidikan yang mereka miliki rendah
sehingga mereka memutuskan untuk bekera saja, ketrampilan yang minim
menyebabkan mereka hanya bekerja sebagai pekerja rumah tangga, akses untuk
mendapatkan pekerjaan yang layak tidak mereka miliki, dan mereka memiliki
pandangan bahwa lapangan pekerjaan di luar negeri jauh lebih besar.
Faktor-faktor ini yang membuat mereka tergiur untuk bekerja diluar negeri.
Penipuan
yang kerap dilakukan oleh agen-agen adalah menjanjikan hal-hal yang manis
kepada para calon korban yang rata-rata memang perempuan, kembali lagi kepada
anggapan masyarkat bahwa perempuan hatinya lembut sehingga mereka berasusmsi
perempuan mudah untuk diiming-iming dengan hal-hal demikian. Dari sinilah
seharusnya kita dapat merubah maindset kita bahwa perempuan tidak lagi seperti
yang telah dikonstruksikan masyarakat sehingga setidaknya dapat mengantisipasi
hal serupa terjadi.
Perdagangan
orang menyebabkan banyak kerugian yang dialami korban salah satunya korban yang
kebanyakan adalah perempuan dan ada yang dibawah umur mereka kehilangan masa
kanak-kanaknya, tidak bisa menikmati hidup layak seperti anak-anak yang lain.
Ibu rumah tangga yang harusnya dirumah malah harus menderita di negeri orang
disiksa dan di perlakukan tidak layak.
Kejahatan
trafficking ini memang bukan kejahatan biasa sehingga pemerintah perlu
memberikan perhatian khusus terhadap permasalahan ini, seperti pemerintah di
daerah Tebingtinggi mereka mengeluarkan kebijakan pencegahan dan penanganan
pidana perdagangan orang dan (kekerasa dalam rumah tangga) KDRT. Upaya ini
dilakukan untuk mencegah adanya tindak pidana perdagangan orang dan penanganan
korban perdagangan orang khususnya perempuan dan anak.
Pencegahan
(tindak pidana perdagangan orang) TPPO dapat dilakukan antara lain melalui
peningkatan pendidikan, penyebarluasan informasi, peningkatan pengawasan,
peningkatan ekonomi, penindakan hukum dan kerja sama internasional.
Apa
yang diterapakan pemerintah daerah Tebingtinggi harusnya dapat dijadikan contoh
oleh pemerintah Kalimantan Barat dan Batam. Mereka dapat menerapkan hal yang
sama untuk menekan jumlah perdagangan orang yang marak terjadi di daerahnya,
sehingga eksploitasi perempuan dapat dihentikan. Tetapi kenapa hingga saat ini
masih terjadi hal demikian? Apakah yang menyebabkan kejadian serupa masih
terjadi? Ataukah memang tidak ada yang memperdulikan hak-hak perempuan
Indonesia untuk mendapatkan tempat yang layak? Semua jawabnnya dapat kita
dapatkan dari masing-masing individu, yaitu untuk dapat menanamkan rasa peduli.
Daftar
Pustaka:
Fakih, Mansour. 2012. Analisi Gender Dan
Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Lubis, Efendi. 2012. Kejahatan Traffiking Libatkan
Banyak Pihak. http://www.hariananalisa.htm.
Diakses pada 8 Desember 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar